Patah Untuk Tumbuh
Oleh: Rustiningsih
Foto Ilustrasi (sourch: https://contohsoaldanpidatopupoler779.blogspot.com)
Aku mengayuh sepedaku dengan sangat kuat, membiarkan peluh membasahi keningku, membiarkan keringat membanjiri tubuhku, dan aku membiarkan siur angin pantai yang akan mengeringkan keringatku. Hari ini hari Senin, Senin yang teramat berseri. Mentari pagi tersenyum cerah pada Bumi Aceh. Langit biru beserta gumpalan awan putih seakan menyambutku dengan riang, mereka temanku, teman yang menemaniku sepanjang perjalanan ke sekolah. Ketika ku tatap gumpalan awan yang mengambang di atas langit membentang, mereka semua seakan menyemangatiku untuk mengayuh sepeda dengan cepat, mereka menyuruhku tak memperdulikan orang-orang yang aneh menatapku. Awan itu seakan berkata “Ayo kayuh cepat sepedamu Kaiffiya!”
Saat memasuki pintu gerbang sekolah ku tatap alroji digital hitam di pergelangan tanganku, jam menunjukan pukul 07:13 “2 menit lagi” batinku. Aku mengeluarkan lelahku dengan menghembuskan napas panjang “Alhamdulillah” ucapku. Aku segera menaruh tas di keranjang sepedaku dan segera memasuki lapangan upacara, tak perduli dengan jilbabku yang tak rapi karna tadi sepanjang perjalanan terkoyak angin pantai. “Kaiffiya, hampir kamu telat” ucap Sasa temanku. “Iya Sa, aku kesiangan, Alhamdulillah nggak telat” ucapku dengan napas terbata-bata. Sasa Febriani adalah teman yang berdomisili sama denganku. Ya, aku dan Sasa berasal dari kota pendidikan dan kebudayaan yaitu Yogyakarta. Sasa sekolah di Aceh karena ayah dan ibunya dinas di sini, ayah sasa TNI AD, dan ibunya adalah PNS, Sasa di sini tinggal bersama ayah dan ibunya di rumah dinas ayahnya. Sedangkan aku sekolah di sini karena orang tuaku ingin memasukkanku ke bumi pesantren kota Aceh, mereka sengaja menyekolahkanku jauh, katanya biar aku tidak manja. Aku di Aceh bukan bersekolah di Madrasah Aliyah, melainkan sekolah di salah satu SMA negri favorit di Aceh, aneh ya? Aku tinggal di pondok pesantren tapi bukan sekolah di Madrasah Aliyah. Itu kemauanku, awalnya aku disuruh orang tuaku sekolah di MA, tapi entah kenapa aku tak mau, awalnya orang tuaku akan membatalkan sekolahku di Aceh, tapi aku terus merengek akhirnya aku diizinkan orang tuaku masuk SMA di Aceh, dengan syarat aku benar-benar mau tinggal di pondok pesantren, dan aku menyetujuinya. Jarak tempuh pondok pesantren dan sekolahku membutuhkan waktu sekitar 18 menit, membuatku harus memakai sepeda jika ingin cepat sampai ke sekolah, walau begitu aku sangat menikmatinya. Sekarang aku duduk di kelas 3, sebentar lagi aku lulus dan setelah lulus aku akan kembali ke Yogyakarta dan berarap bisa masuk PTN yang aku impikan, yaitu UGM, dari aku TK kata ibu, aku selalu membahas UGM, aku tertawa terpingkal-pingkal saat ibu menceritakan masa kecilku katanya aku selalu berceloteh “Bu, nanti kalau Kaiffiya sudah besar, pokoknya Kaiffiya mau kuliah di UGM, nanti bisa belajar sama ayah tiap hari, tiap waktu, selamanya” ucapku pada ibu, ibu menjawabnya dengan sentilan manis di hidungku “Iya nduk ibu tersayang” dan ayahku yang saat itu sedang membaca koran, melipat korannya, menghampiriku lalu mengangkatku bagai pesawat terbang. “Kejar mimpi Kaiffiya setinggi langit, ayah akan mendukung apapun itu” “Ayah, nanti kalau Kaiffiya sekolah di tempat ayah, ayah kan yang bakalan ajarin Kaiffiya tiap hari?” Ayah menjawabnya dengan anggukan mantap.
Aku terbuyar dari lamunanku, aku jadi rindu mereka, terakhir kali mereka mengunjungiku yaitu 5 bulan yang lalu, wali santri memang dilarang menjenguk terlalu sering anaknya, di dalam telpon pun dilarang terlalu sering, tentunya dengan tujuan baik, agar kami di sini bisa benar-benar mandiri. “Ayo ngaji-ngaji!” ucap pengurus yang satu persatu menggedor kamar yang masih berpenghuni. “Hari ini jadwalnya apa Zakya?” ucapku pada Zakya teman sekamarku, santri wati yang berasal asli dari Aceh. “Arba’i Nawawi. Kaiffiya cantik” ucap Zakya lembut. Aku mengangguk segera memakai rokku, dan mengambil kitab Arba’i Nawawi. “Cepat sikit Kaiffiya” “Ayo! Ayo! Gegas lah” ucap Rose dan Syarma santri wati asal Malaysia itu terus mendesak Kaiffiya, bukan tanpa alasan, melainkan jika pada waktu ngaji kita masih berada di kamar maka kita akan kena takziran oleh mbak-mbak pengurus.
Aku terbuyar dari lamunanku, aku jadi rindu mereka, terakhir kali mereka mengunjungiku yaitu 5 bulan yang lalu, wali santri memang dilarang menjenguk terlalu sering anaknya, di dalam telpon pun dilarang terlalu sering, tentunya dengan tujuan baik, agar kami di sini bisa benar-benar mandiri. “Ayo ngaji-ngaji!” ucap pengurus yang satu persatu menggedor kamar yang masih berpenghuni. “Hari ini jadwalnya apa Zakya?” ucapku pada Zakya teman sekamarku, santri wati yang berasal asli dari Aceh. “Arba’i Nawawi. Kaiffiya cantik” ucap Zakya lembut. Aku mengangguk segera memakai rokku, dan mengambil kitab Arba’i Nawawi. “Cepat sikit Kaiffiya” “Ayo! Ayo! Gegas lah” ucap Rose dan Syarma santri wati asal Malaysia itu terus mendesak Kaiffiya, bukan tanpa alasan, melainkan jika pada waktu ngaji kita masih berada di kamar maka kita akan kena takziran oleh mbak-mbak pengurus.
Terdengar gedoran pintu dari luar kamar nomor 2, tak lain adalah kamar mereka berempat. Zakya, Rose, Syarma dan Kaiffiya segera membuka pintu dan berhamburan keluar, mereka berlari terbirit-birit menuju kelas mengaji.
Tiba tiba saat aku hendak melangkah masuk menuju kelas, seseorang memanggilku.
“Kaiffiya Azka Nida” “Ada telpon dari ibumu dari Yogyakarta, penting” aku mengangguk dan segera memasuki kelas untuk meminta izin kepada ustadzah Zara untuk mengangkat telpon dari ibuku, dan tumben sekali ustadzah Zara mengizinkan. Aku segera berjalan cepat menuju kantor pondok putri “Assalamu’alaikum ibu?” ucapku dengan wajah berseri-seri, sudah lama ibu tidak menelponku. Di sebrang sana terdengar seseorang menjawab salam dan itu jelas bukan ibuku, sana ia mengatakan “Kaiffiya, ibumu dan ayahmu kecelakaan saat hendak menjengukmu, ayahmu meninggal dunia, dan ibumu kritis” tubuhku gontai, budheku pasti berbohong. Beberapa pengurus menopang tubuhku agar tidak ambruk, ku lihat Zakya, Syarma dan Rose belari ke ruang kantor, tempat aku menerima telpon. Mereka ikut membopong tubuhku yang sudah lemas menuju kamar 2, tempat aku menghabiskan hari-hari luangku di pondok pesantren.
Zakya memelukku erat, begitupun dengan Rose dan Syarma, mereka bertiga ikut menangis, dan menggenggam tanganku mencoba menguatkan. Aku tak bisa berkata apapun, aku hanya bisa menagis terisak saat ini. Dadaku sangat sesak, ingin aku berteriak tapi aku tak bisa, ingin aku segera berlari menuju bandara sekarang juga, tak perduli dengan selarut apa hari ini, aku ingin ke bandara dan langsung terbang menuju Yogyakarta, aku, aku ingin melakukannya, tapi seluruh urat nadi dan syarafku sekan tak sinkron bekerja, semuanya terasa lemas, dan aku tak mampu melakukan apapun selain menangis. Ya Allah, kenapa engkau mengambil nyawa ayahku begitu cepat? Bahkan untuk memprotes begitu saja pada Allah SWT aku tak mampu. “Astaghfirullahaladzim ya Allah...” bibirku hanya mampu bergetar pelan seperti itu, sakit sekali apa yang aku rasakan. Semalaman aku tidak bisa tidur Zakya, Rose dan Syarma terus menguatkan dan motivasi aku untuk tetap tegar menjalani hidup, dan Sasa pun sampai ke pondokku, ketika ia mendengar kabar itu, mereka terus menghiburku begitupun dengan para ustadzah di pondok dan juga bu Nyai, hingga aku bisa terlelap tidur hanya untuk beberapa jam saja. Dan pada keesokan harinya ku lihat budhe dan pakdeku menjemputku untuk kembali ke Yogyakarta, semua teman-temanku memelukku. Ikut menangis berduka cita. Perlahan aku meninggalkan bumi pesantren kota Aceh itu, menuju bandara dan terbang menuju Yogyakarta. Sesampai di sana aku langsung menuju RSUD Yogyakarta, dan segera berlari sekuat tenaga menuju ruang jenazah ayahku, walau tubuhku kian gontai dan terasa lemas, aku tetap berlari dan berteriak dengan lantang dipenuhi rasa sesak di dada “Ayah!” aku menuju jenazah yang ditutupi kain kafan putih, aku membukanya perlahan dan berlirih pelan “Ayah!” ucapku sambil menangis terisak dan memeluk jenazah ayahku, malaikat kedua dalam hidupku setelah ibuku.
Budhe dan Pakde menghampiriku, mengusap pundakku dengan lembut, Budhe memelukku dan berusaha menenangkanku, perlahan mereka membangkitkanku untuk berdiri, mengajakku menuju tempat ibu di rawat, aku berjalan pelan, berjalan dengan hati berat, remuk dan terpukul meninggalkan jenazah ayahku.
“Ibu...” aku menangis sesegukan membiarkan luruh perihku terbawa olehnya. Aku menggenggam tangan ibuku pelan “Ibu, sadar bu, Kaiffiya di sini”
“Bu...” aku menunduk dalam dalam, tak terbayangkan jika ibu juga harus pergi meninggalkan aku sendiri, dengan siapa lagi aku ini? Namun aku juga tak bisa menyalahkan sang Khalik, semua ini adalah Kalamullah yang sudah tergaris dan tertulis untuk kehidupanku, ibu, dan almarhum ayahku, bahkan sebelum kami semua terlahir di dunia. Ya, aku percaya pada itu, tapi sakit ditinggalkan orang tercinta, tetaplah sakit, yang bisa memudarkan rasa sakit itu adalah ikhlas yang perlahan akan muncul seiring berjalannya waktu. Ditinggalkan Ayah dan melihat ibu kritis adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidupku.
Satu minggu sudah ibu kritis dan tak sadarkan diri, aku setiap waktu mendampinginya, dan seusai shalat aku selalu mendoakan almarhum ayah dan selalu membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an di telinga ibu. Berharap pada sang Khalik, ia bisa cepat sadarkan diri. “Kaiffiya, ada telpon dari pondok pesantren, katanya temanmu” ucap budhe memberikan handphonenya padaku. Sasa, Zakya, Syarma, dan Rose, selalu menelponku dan menanyakan kabarku setiap hari, mereka mendukungku agar aku kembali lagi ke Aceh, sebentar lagi UN akan dilaksanakan. Dan aku harus menyelesaikan study ku, setelah lulus SMA aku berjanji akan menjaga ibu dan akan bekerja saja, agar ibu tidak terbebani. Tapi setelah ibu sembuh ibu menyuruhku untuk kuliah, aku menolaknya kuat ibu tak mungkin bekerja untuk membiayaiku. “Cita-cita itu harus di kejar selama kamu belum tersingkirkan, walaupun kamu sedang dalam keadaan lemah, sakit, berdarah, selama Allah masih memberimu kekuatan maka kejarlah, yakinlah Allah akan menemanimu, dan membantumu mewujudkannya, banggakan ayahmu di Syurga, Kaiffiya” aku menatap getir ibuku, ibuku yang duduk di kursi roda dan tangan kanannya harus hilang karna di amputasi, aku gagal menahan tangisku di depan ibuku. Aku melihat pengharapan besar di mata ibu, aku tak mampu menolaknya, ibu ingin melihat aku sukses. Ibu menginginkan yang terbaik untukku. Akhirnya aku kuliah di UGM , mengambil jurusan ilmu komunikasi. Aku kuliah sambil bekerja, saat aku kecil aku sering diajari ibu membuat donat, kue dan cup cake, akhirnya aku mencobanya aku berjualan donat dan order cake ulang tahun, rumahku dekat dengan kampus, sehingga jika ke kampus aku menggunakan sepedaku. Aku menitipkan donat, cupcake ke kantin, dan warung-warung, aku mempromosikannya pada teman-temanku, biasanya selesai kuliah aku berkeliling untuk berjualan, setelah itu aku langsung pulang ke rumah untuk merawat ibu. Aku tak menyangka dua tahun aku berjualan keliling, dan akhirnya aku bisa mendirikan toko kue, bahkan hingga bercabang di luar kota. Aku sangat bersyukur pada Allah SWT, Allah telah memberi jalan untukku.
Aku begitu terpuruk selepas kepergian ayahku, bahkan sempat tidak ingin kuliah lagi karena masalah biaya, aku yakin tak mampu untuk bisa menyelesaikan kuliahku. Tapi ibuku, budheku, pamanku, teman-temanku menyemangatiku bahwa aku bisa meraih mimpiku, dengan semangat berjuang, niat yang lurus, dan tawakkal kepada Allah, benar, janji Allah itu memang benar, bahwa ia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu berusaha merubahnya sendiri. Dan aku jadi ingat pepatah Hasan al-banna kalau tidak salah begini bunyinya “Ketika tekad sudah lurus maka terbukalah jalan” dan benar segala sesuatu itu memang harus diawali dengan niat, niat yang baik dan lurus, firman Allah benar lagi, bahwa segala sesuatu itu tergantung niat. Bukankah begitu? Allahu Akbar.
Dan ingat bahwa patahmu, bukan bertujuan untuk membuatmu jatuh ataupun lemah tak berdaya, melainkan untuk semakin menumbuhkanmu, hidup itu sebatas cobaan, penyaluran mimpi lewat pendidikan itu penting, walaupun semasa itu banyak sekali cobaan untuk membuatmu berhenti mengejar mimpi, tapi kau harus yakin Allah selalu ada untukmu, mendekapmu saat kamu menangis, dan membangkitkanmu saat kamu menyerah, Allah selalu ada untukmu.
Hadir
BalasHapusCeritanya sangat menginspirasi
BalasHapus