Islam dan budaya memiliki relasi yang tak terpisahkan, dalam Islam sendiri ada nilai universal dan absolut sepanjang zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal, adat atau tradisi sepanjang budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan spirit nash al-Qur’an dan Sunnah. Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah swt. Dalam surat Al-A’raf ayat 199:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik.
Sama halnya Tradisi dan budaya Jawa tradisi nyadran di Pulau Jawa. Biasanya dilakukan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab. Acara diawali dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin sesepuh dusun setempat. Dalam doa itu mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah meninggal. Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga membawa makanan sendiri.
Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya. Genduren ini bermakna bahwa mayarakat masih menjujung tinggi rasa kerukunan antarwarga. Hal ini merupakan kesempatan warga untuk menjalin kerukunan.
Suasana kerukunan memang tampak pada kegiatan Nyadran. Mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan. Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila atau tidak waras. Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras. Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.
Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga. Inilah salah satu bentuk dakwah walisongo yang masih melestarikan budaya lokal.
Tradisi nyadran tersebut merupakan bentuk Konvensi antara budaya dan agama. Konvensi tersebut yang diterapkan para ulama dalam menyebarkan agama islam di bumi nusantara. Hal ini dikarenakan orang Nusantara yang bersifat lembut dan tidak kasar tentunya para ulama berfikir bahwa penyebaran islam dalam nusantara tidak dengan jalur perang, akan tetapi dengan secara halus, dengan cara mengganti isi dari ajaran-ajaran mereka dengan isi yang lebih mengantarkan kepada Allah s.w.t
Sedekah bumi (Nyadran) merupakan pengingat bagi masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Selain itu, agar supaya masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur yang berjasa membuka lahan (babat alas) tempat tinggal masyarakat, serta sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga lingkungan (alam) sebagai tempat masyarakat mencari penghidupan. Sesungguhnya Allah SWT sangat luas pengetahuan-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT:
“Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”. (QS. Al A’raf: 7)
Tradisi Nyadran tersebut bukanlah hanya tradisi biasa tanpa makna, didalamnya terdapat nilai-nilay yang amat penting dalam menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan Indonesia. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik.
Sama halnya Tradisi dan budaya Jawa tradisi nyadran di Pulau Jawa. Biasanya dilakukan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab. Acara diawali dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin sesepuh dusun setempat. Dalam doa itu mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah meninggal. Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga membawa makanan sendiri.
Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya. Genduren ini bermakna bahwa mayarakat masih menjujung tinggi rasa kerukunan antarwarga. Hal ini merupakan kesempatan warga untuk menjalin kerukunan.
Suasana kerukunan memang tampak pada kegiatan Nyadran. Mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan. Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila atau tidak waras. Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras. Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.
Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga. Inilah salah satu bentuk dakwah walisongo yang masih melestarikan budaya lokal.
Tradisi nyadran tersebut merupakan bentuk Konvensi antara budaya dan agama. Konvensi tersebut yang diterapkan para ulama dalam menyebarkan agama islam di bumi nusantara. Hal ini dikarenakan orang Nusantara yang bersifat lembut dan tidak kasar tentunya para ulama berfikir bahwa penyebaran islam dalam nusantara tidak dengan jalur perang, akan tetapi dengan secara halus, dengan cara mengganti isi dari ajaran-ajaran mereka dengan isi yang lebih mengantarkan kepada Allah s.w.t
Sedekah bumi (Nyadran) merupakan pengingat bagi masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Selain itu, agar supaya masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur yang berjasa membuka lahan (babat alas) tempat tinggal masyarakat, serta sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga lingkungan (alam) sebagai tempat masyarakat mencari penghidupan. Sesungguhnya Allah SWT sangat luas pengetahuan-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT:
“Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”. (QS. Al A’raf: 7)
Tradisi Nyadran tersebut bukanlah hanya tradisi biasa tanpa makna, didalamnya terdapat nilai-nilay yang amat penting dalam menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan Indonesia. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
“Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang[488], sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam Keadaan bingung, Dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang Lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam”.
Menurut Isyanti (2007: 131-135) dalam sebuah tradisi ada nilai yang terkandung di dalamnya yaitu nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai musyawarah, nilai pengendalian sosial dan nilai kearifan lokal. penerapan nilai-nilai dalam tradisi nyadran tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Nilai gotong royong. Dalam tradisi nyadran tersebut terlihat dalam penyelanggaraan mulai dari awal persiapan hingga akhir acara dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat.
2. Nilai persatuan dan kesatuan. Yang tercermin pada saat pembagian sedekah makanan dan makan bersama baik pada makam maupun di rumah masyarakat masing-masing.
3. Nilai Kebersamaan dan kekeluargaan . Yang ditunjukkan dalam tradisi nyadran yitu mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan.
4.Nilai pengendalian sosial. Dalam tradisi nyadran, yaitu masyarakat memberikan ucapan sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan dengan nyadran, masyarakat mampu untuk mempertahankan dan menjaga tradisi leluhur.
5. Nilai kearifan lokal. Yang ditunjukkan antara lain makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk pelestarian dari kearifal lokal berupa makanan tradisional.
Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tradisi Nyadran sah-sah saja dilakukan selama proses dan pelakunya tidak keluar dari aturan-aturan syariat Islam. Tradisi tersebut juga membawa banyak nilai positif diantaranya nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai ketuhanan, nilai kebersamaan dan kekeluargaan dan nilai kearifan lokal. Selain itu, lambat laun nilai-nilai Islam akan melekat di masyarakat tanpa adanya paksaan untuk mempelajarinya.
Menurut Isyanti (2007: 131-135) dalam sebuah tradisi ada nilai yang terkandung di dalamnya yaitu nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai musyawarah, nilai pengendalian sosial dan nilai kearifan lokal. penerapan nilai-nilai dalam tradisi nyadran tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Nilai gotong royong. Dalam tradisi nyadran tersebut terlihat dalam penyelanggaraan mulai dari awal persiapan hingga akhir acara dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat.
2. Nilai persatuan dan kesatuan. Yang tercermin pada saat pembagian sedekah makanan dan makan bersama baik pada makam maupun di rumah masyarakat masing-masing.
3. Nilai Kebersamaan dan kekeluargaan . Yang ditunjukkan dalam tradisi nyadran yitu mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan.
4.Nilai pengendalian sosial. Dalam tradisi nyadran, yaitu masyarakat memberikan ucapan sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan dengan nyadran, masyarakat mampu untuk mempertahankan dan menjaga tradisi leluhur.
5. Nilai kearifan lokal. Yang ditunjukkan antara lain makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk pelestarian dari kearifal lokal berupa makanan tradisional.
Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tradisi Nyadran sah-sah saja dilakukan selama proses dan pelakunya tidak keluar dari aturan-aturan syariat Islam. Tradisi tersebut juga membawa banyak nilai positif diantaranya nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai ketuhanan, nilai kebersamaan dan kekeluargaan dan nilai kearifan lokal. Selain itu, lambat laun nilai-nilai Islam akan melekat di masyarakat tanpa adanya paksaan untuk mempelajarinya.
Tidak ada komentar