AKU PULANG
Tri Anagh Firli
Dering telfon diruang utama itu menggelegar, menggetarkan gendang telinga Wanita paruhbaya yang masih asik menguleni adonan didapur. Ia segera merapatkan telinganya pada gagang telfon, masih dengan terkaan suara siapa yang berada disebrang sana.
“Wa’alaikumsalam nduk.” Suara rentanya merdu sekali terdengar. Ada rasa bahagia disana. Suara disebrang telefon itu, suara yang telah lama ia nantikan.
“Bu, aku pulang sore nanti. Aku rindu
Wanita paruhbaya ini tersenyum penuh makna. Sebuah mutiara bening tak bisa ia sembunyikan lagi, itu luapan bahagianya. tak selang lama, termin pembicaraan siang itu ditutup. Masih dengan ulasan senyum yang tak ku2njung hilang dari wajah keriputnya, ia kembali meneruskan adonan yang masih setengah jadi.
Ϧ
Kumandang adzan dhuhur menggetarkan siang, menggelegar ke seluruh penjuru. Mengisi ruang-ruang hampa diudara, menggetarkan gendang telinga, menggerakkan hati atas panggilan-Nya. Wahai seluruh umat, mendekatlah. Sang empunya dunia sudah memanggil, tak butuhkah engkau atas pertolongan dan ketengangan yang Dia tawarkan? Raihlah Sulukmu, wahai seluruh umat.
Nakia memantapkan kakinya menuju masjid yang tak jauh dari tempat duduk. Masih dengan seulas senyum yang tak hilang sejak tadi. angin menyapu wajahnya yang berbinar, mengibarkan kain abu-abu yang menyelimuti kepalanya. Perempuan itu segera memasuki majid dan membasuh wajah dengan air suci. Tunailah kewajibannya pada Sang Empunya dunia.
Setelah empat rokaat ia tunaikan, perempuan berkacamata itu menepi, duduk disudut masjid. Ia kembali melafalkan Kalam-Kalam Allah dengan merdu.
Ϧ
“Ibu tak sampai hati jika kamu tak bisa mengaji seperti ibu, ikutlah dengan Pakdhemu. Jangan khawatirkan ibu, ibu akan baik disini. Yang penting, disana kamu harus pandai, kamu harus membuat ibu bangga.”
Bukan lagi setetes dua tetes, ini bak sungai yang mengalir deras diwajah kedua perempuan ini. Nakia masih erat memeluk ibunya. Sementara sang ibu memberikan pengertian lebih. Semilir angin dan nyanyian ilalang sore itu mengiringi kepergian Nakia.
“Jangan nangis, nanti air matamu kau telan. Batal sudah puasamu. Sudah, berhentilah menangis. Anak ibu ini, katanya kuat. Pakdhemu sudah menunggu nak.”
Itu baru minggu pertama Ramadhan, ketika Nakia meninggalkan ibu dan rumah mungilnya. Nakia memeluk sebuah Iqro’ yang dibelikan Ibu baru-baru kemarin. Padahal ia sudah hampir 15 tahun, tapi ia masih belum lancar mengaji. Nakia putus sekolah, ia hanya tamat SD dan membantu ibunya berjualan Gorengan keliling kampung. Mereka hanya berdua, dan setelah Ibu menitipkan Nakia Pada Pakdhe Adim, ibu sendirian. Menguleni adonan tepung tempe dan tahu gorengnya sendiri. sahur sendiri, buka puasa sendiri, dan lebaranpun Ibu sendiri. ibu tak mengizinkan Nakia pulang. Katanya, supaya Nakia fokus mengaji dan menuntut ilmu disana.
Ibu ingin yang terbaik untuk putri semata wayangnya.
“Jangan sampai Nakia seperti Ibu. Ibu tak bisa mengaji, ibu buta huruf hijaiyah. Nakia harus pandai.”
Ibu mana yang tega melihat anaknya menjadi bodoh. Tak ada, semua ibu ingin anaknya menjadi pandai, dan lebih pandai dari dirinya.
Ϧ
Perempuan paruhbaya ini memutuskan untuk tak berjualan keliling kampung. Ia masih sibuk memasak, padahal sebentar lagi sudah hampir adzan maghrib. Ia mempersiapkan meja makan dengan banyak sekali makanan. Tempe goreng dan tahu goreng kesukaan anaknya. Perkedel dan sayur asem. Jangan lupakan sambelnya, meskipun ia tau anaknya tak suka pedas, ia selalu menyediakan sambal.
Senyumnya mengulas kembali, wanita paruhbaya ini bahagia sekali, seperti tertimpa rejeki nomplok.
“Assalamualaikum,” suara merdu itu menggetarkan hati wanita paruhbaya yang masih berdiri merapihi meja makan. Setetes mutiara jatuh dari binar matanya yang indah. senyumnya mengulas lebih lebar. Ia bahagia, sangat bahagia.
“Itukah kamu, nak?”
“Ibu, ini Nakia.” Sang empunya suara berlari memeluk wanita paruhbaya yang masih berdiri mematung. Tumpah ruahlah bahagianya saat itu. lama sekali, Nakia enggan melepas pelukannya. Tangisnya pecah, luruh bersama rasa rindu yang ia pendam sejak lama.
“Hei, jangan menangis. Nanti air matamu kau telan. Batallah puasamu. Sudah-sudah, berhentilah menangis. Kau ini masih seperti Nakia yang dulu yah.”
“Ibu ini, aku masih rindu. Lagi pula mana mungkin kutelan air mataku. ibu kira aku masih Nakia kecil?” gelegar tawa memecah diantara mereka. Ditarik dua kursi yang berdampingan, senyum tak pernah hilang dari kedua wajah yang bahagia itu.
Tak selang lama, kumandang adzan maghrib menggelegar indah. mengiringi sang raja siang menuruni tahtanya digantikan sang dewi penghias malam. Ditemani semburat merah kejinggaan diufuk barat. Orang-orang sepenjuru dunia menghilangkan dahaganya kala itu, menelan teguk demi teguk air dan satu persatu pengganjal perut setelah seharian berpuasa.
Tiga rokaat mereka tunaikan bersama, diakhiri dengan lantunan Kalam-kalam Allah yang dengan merdu dilafalkan oleh Nakia. Mutiara-mutiara bening tak henti mengalir deras dari wajah wanita paruhbaya ini.
“Anakku sudah pandai mengaji.”
Nakia memeluk ibunya lagi, kali ini lebih erat. seperti pelunas hutang akan rindunya yang kedua. Itu Ramadhan pertama setelah dua Ramadhan terakhir ia habiskan sendiri. Itu ramadhan yang indah, yang telah ibunya perjuangkan, agar Nakia bisa melafalkan Kalam-Kalam Sang Empunya dunia dengan baik.
Tak ada yang lebih bahagia menurut seorang ibu, kecuali bahagia melihat anaknya mampu lebih dekat dengan Tuhannya.
Ϧ Ϧ Ϧ
Pemalang, 10 Mei 2018
Tidak ada komentar