Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Racing

Cute

Travel

Kota

Portfolio

Feature

» » Wanita Cafe

Gadis yang Mengendap Kesunyian
Oleh : Geti Oktaria Pulungan


Seantero kelas tengah sibuk membicarakan Laras. Gadis tertutup yang mengundang rasa penasaran. Gadis itu tidak memiliki teman dekat seperti para mahasiswa yang lebih suka berkelompok. Ia lebih suka menyendiri. Berbicara pun seperlunya saja. Terkadang jika kami duduk bersama menceritakan sesuatu, Laras akan mundur perlahan. Ia pergi seolah mempunyai pekerjaan yang sangat banyak. Begitu banyak kabar burung mengenai Laras. Entahlah, apakah dapat dikatakan kabar burung atau benar adanya. Mereka bilang, di balik kesibukan gadis itu, ada jam terbang tinggi yang tidak sanggup ditolaknya. Ada yang bilang Laras memiliki pekerjaan sampingan. Tapi tidak jelas ia bekerja di mana, apakah di rumah makan, toko aksesoris, kafe, atau diskotik. Ada juga yang bilang bahwa Laras adalah seorang ayam kampus. Makanya ia terbiasa berjanji dengan pelanggan di jam-jam kosong mata kuliah.
Laras adalah gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang petani yang dibayar untuk menggarap lahan orang di kampung. Sementara sang ibu sudah pergi menghadap ilahi ketika ia berumur dua tahun. Ia mempunyai dua orang adik yang duduk di Sekolah Menengah Pertama. Laras memperoleh beasiswa dari pemerintah dan harus mempertahankan nilainya tetap bagus. Jika nilainya merosot, beasiswa itu akan dicabut. Ia pernah bercerita mengenai hal pribadi saat kami berkenalan dulu. Sayangnya ketika itu ada orang lain yang mendengarkan cerita Laras. Sehingga ia menyimpan informasi tersebut dan menautkan dengan keadaan Laras sekarang.
Laras membayar sewa kamar indekosnya melalui sisa uang beasiswa setelah dibayarkan uang kuliah per semester. Sedangkan uang makan sehari-harinya dikirimkan oleh ayahnya dari kampung. Nah, itu dia yang dipermasalahkan teman-teman. Darimana Laras mendapatkan biaya makan yang tidak tergolong sederhana? Ia lebih sering makan di kantin, atau duduk di kafe dengan kopi dan cemilan di atas meja. Bahkan Laras memiliki pakaian yang bagus dan buku-buku yang dibandrol mahal. Kata mereka, Laras sering menunggu pelanggannya di kafe. Atau dia tengah memikat mangsa baru dengan cara menunjukkan diri di sana. Ingin rasanya aku berteriak pada mereka bahwa Laras tidak seperti yang mereka bayangkan. Tapi aku tidak punya bukti kuat. Ingin juga bertanya pada Laras darimana sumber keuangan itu, namun aku takut ia tersinggung dan memutuskan pertemanan.
***
Detik pada jam dinding kamarku tidak bergerak seperti biasanya. Pukul tiga lewat sepuluh menit, ia tetap di sana tanpa pindah haluan. Aku yang tidak menyadarinya, tak akan beranjak jika pendar matahari tidak menerobos masuk dari celah gorden. Setelah menyipitkan mata, kuperiksa layar ponsel dan..., astaga! Sudah pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Tinggal lima belas menit lagi kelas akan dimulai oleh dosen paling seram di Fakultas Bahasa. Jangan harap beliau memberi ampun, ia akan mengunci pintu kelas dan menganggapmu tidak hadir. Jika dua kali saja absen padanya, maka nasib mengulang mata kuliah yang sama di tahun depan akan terjadi.
Aku mengganti baju tanpa badan yang terbilas air. Hanya beberapa tetes air membasahi wajahku untuk menghilangkan jejak saliva. Perutku yang keroncongan meminta jatah sesuai jadwal. Terbiasa sarapan pukul setengah delapan sejak dahulu masih duduk di bangku sekolah. Tinggal dua menit lagi menuju pukul delapan dan aku sudah di lantai dua. Ada satu lantai lagi yang menjadi tujuanku. Setengah berlari aku menaiki dua anak tangga sekaligus. Tidak banyak orang yang berjejel di tangga berhubung kelas akan dimulai. 
Syukurlah aku sudah tiba di pintu kelas. Tampak dari kejauhan pak Tegar, sang dosen melangkahkan kakinya ke kelasku. Aku pun duduk di sebelah Laras. Ia tersenyum padaku. Tiba-tiba ada dengungan suara yang lain ketika aku duduk, diiringi pandangan penuh selidik. Perasaanku tidak enak. Entah kenapa aku menjadi sensitif. Aku menyangka bahwa mereka membicarakanku yang tidak-tidak. Dengungan itu tidak berhenti sampai pak Tegar masuk kelas.
Dua jam kemudian, pelajaran usai dan aku dapat mengembuskan napas lega. Sejak tadi, tak ada satu kalimat pun dari pak Tegar yang menelusup pikiranku. Lambungku benar-benar protes dan tidak dapat diajak kompromi. Perih rasanya karena tidak ada sepotong makanan yang masuk. Mungkin karena aku makan malam lebih awal, sehingga sistem pencernaan menjadi kosong dalam waktu lama. Aku hendak membeli sepotong roti ketika langkahku tertahan oleh ucapan Bima,
“Bagaimana rasanya? Enak tidak? Jangan lupa bagi pengalaman, ya,” ucapnya sembari disusul oleh tawa yang lain.
“Aku tidak mengerti, maksudnya apa?” Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Laras, kamu menghabiskan malam dengannya kan makanya terlambat?” Bima menimpali dan yang lain kembali tertawa, kali ini lebih keras.
Bug. Aku melayangkan pukulan pada hidungnya. Darah segar mengalir dari rongga hidung sebelah kiri. Amarahku belum reda. Ketika hendak melayangkan pukulan kedua, Laras menarik tanganku. Ia memintaku pergi saja.
“Jangan cuma pakai mulut kalau berbicara, apa bedanya kamu sama hewan? Pakai juga ini,” Aku menunjuk kepala Bima kemudian mendorongnya. Bima yang tidak siap pada pukulanku, segera terdiam tanpa berani menatap mataku yang sudah menyimpan kobaran api.
Laras mengajakku ke kafe depan kampus. Ia memintaku sarapan di sana. Jangan di kantin karena pasti membuatku tidak nyaman. Di sana akan ramai orang-orang yang membicarakan kami.
“Kenapa kamu tidak pernah marah pada mereka?” ucapku setelah menghabiskan satu piring mie goreng. Emosi tadi sungguh meningkatkan rasa laparku menjadi dua kali lipat.
“Kenapa aku harus marah pada mereka?” Laras bertanya balik. Ia terlihat santai menggigit roti bakar. Tampaknya ia sudah sarapan terlebih dahulu.
“Memangnya tidak tahu kalau mereka sering menceritakan yang tidak-tidak tentang kamu?” Aku tidak habis pikir kalau Laras sampai tidak tahu.
“Ya, tahulah. Tapi biarkan saja. Pahalaku akan makin banyak jika mereka berkata seperti itu,” ujar Laras santai.
“Iya memang. Tapi mereka benar-benar sudah kelewatan. Nama baik kamu bisa rusak,” ujarku tidak setuju. Lebih tepatnya aku kasihan pada Laras.
Laras mengeluarkan buku-buku yang ditulis oleh SilkHeart dari dalam tasnya. Semua sampulnya masih sangat mulus. Beberapa di antaranya adalah judul terbaru yang dinantikan para penggemarnya. Aku membuka halaman pertama dan ada tanda tangan penulis di sana.
“Wah, kamu juga penggemar beratnya SilkHeart, ya?” Laras menggeleng tegas. Sontak muncul kerutan di keningku yang mengundang tawa Laras. Cantik sekali ia saat tertawa lepas seperti ini.
“Aku adalah SilkHeart,” ucapnya tanpa beban sama sekali.
“Apa? Kamu pasti bergurau,” Senyumanku memudar setelah melihat wajah Laras yang terlihat serius.
“Tidak, aku jujur,” ucapnya sembari menatapku.
Laras pun bercerita mengenai perjalanan menulisnya sejak awal kuliah. Mulanya ia hanya menulis di koran. Pertama kali menulis cerpen dan dimuat. Honornya lumayan dan cukup untuk biaya makan selama satu minggu. Laras menjadi semangat menulis. Semua tulisan ia coba. Mulai dari cerpen, esai, artikel, resensi, hingga karya tulis. Seorang editor pada penerbit buku islam meliriknya. Ia diminta menulis sebuah buku dan menggunakan nama pena. Untuk memenuhi itu, Laras menggunakan SilkHeart. Buku pertama yang ia tulis mencapai penjualan terbaik dan namanya makin dikenal. Hingga sekarang, dia adalah penulis yang tengah naik daun. Undangan menulis kerap dipenuhi. Jika ada waktu luang, sebisa mungkin dimanfaatkan untuk menulis. Makanya ia menepi ke kafe-kafe. Mencari suasana yang tenang untuk menulis.
“Berarti kamu udah kaya sekarang?” Laras hanya tertawa menyahuti pertanyaanku.
“Aku masih menggarap proyek yang mahal,” jawabnya setelah menerawang beberapa saat.
“Benarkah? Aku boleh ikut?” tanyaku karena merasa masih kekurangan uang.
“Tentu saja boleh, setiap orang boleh ikut,” jawabannya membuatku makin penasaran.
“Proyek ini adalah tabungan kita nanti di surga. Sebagai penulis, tidak boleh menulis sesuka hati. Bayangkan jika kamu menulis yang tidak baik, lalu banyak yang terpengaruh karena tulisan itu,” aku bergidik membayangkan kalimat Laras.
“Namun jika kamu menulis yang baik, orang akan terikut dalam melakukan kebaikan. Jadi proyek selanjutnya adalah menulis perihal keislaman di blog SilkHeart. Aku lagi cari penulis tetap yang mengisi blog itu. Memang disediakan honor, tapi tidak banyak,” katanya sambil memandangku lekat.
“Aku mau. Aku juga ingin kaya di surga nanti,” ucapku.
Kami membuat kesepakatan. Aku tidak sabar melihat tulisan pertamaku tayang di media milik penulis ternama. Aku juga masih membujuk Laras untuk mengenalkan SilkHeart yang sesungguhnya pada teman-teman. Ia menolak. Katanya suatu saat nanti mereka akan tahu.
***
Angin malam bergelayut manja. Aku yang tengah mencari inspirasi menulis tak juga menemukannya. Sudah dua kali tulisanku mengisi blog Laras. Berbagai respon positif muncul. Beberapa kali teman satu kelas menanyakan perihal kemulusan tulisanku bisa hadir di sana. Aku memang menggunakan nama asli untuk menulis. Namun Laras melarang aku untuk menceritakan yang sesungguhnya. “Katakan saja kamu melalui proses seleksi yang disediakan SilkHeart,” pintanya suatu hari. Hatiku sungguh tidak tenang. Tiba-tiba ponselku berbunyi dari panggilan tanpa nama.
“Laras tengah terbaring di rumah sakit pelita hati karena kecelakaan,” ujar seorang lelaki di seberang sana. Seketika aku menyambar jaket dan menghidupkan mesin sepeda motor. Tak kuindahkan lagi ancaman angin malam yang menusuk tulang-tulangku.
“To-llong lan-jut-kan blog ii-ttu,” hanya itu pesan Laras sebelum mengembuskan napas terakhir. 
Satu bulan kemudian.
Buku bersampul merah muda kini berada dalam genggaman masing-masing insan di kelas kami. Laras yang memberikannya dari surga. Mungkin ia tahu, hidupnya akan berakhir. Sehingga setiap orang di kelas kami diberikan sebuah buku. Mereka tertunduk sembari menahan air mata. Al Fatihah dikirimkan pada almarhumah, tak lupa permintaan maaf mereka. Buku itu berisi biografi Laras, berikut nama asli dari SilkHeart. Buku yang mampu menembus jutaan pembaca. Uang penjualan buku tersebut sudah diamanahkan Laras untuk disumbangkan pada panti asuhan. Sesuai cita-citanya, Laras sudah punya tabungan cukup untuk menjadi kaya di surga nanti.
Biodata Penulis
Geti Oktaria Pulungan lahir di Padangsidimpuan, 30 Oktober 1991. Merupakan seorang tenaga pendidik. Jejak menulis : Juara 1 Lomba Menulis Jurnalistik Diskominfo Kota Padangsidimpuan (2019), Juara 3 Menulis Artikel Salimah Sumut (2019), Juara 3 Cipta Cerpen Tingkat Nasional oleh HMJ Tadris Biologi UIN Antasari Banjarmasin (2019), Pemenang harapan kategori B LMC Green Pen Award (2014), Juara 3 Event Cerpen Banyuwangi Tourism (2019), Pemenang utama lomba menulis FIMELA (2019), sepuluh peserta terpilih Sayembara Menulis Cerpen Lika-Liku Pernikahan (2019), kontributor lomba menulis cerpen horor penerbit Hanami (2019), karya unggulan Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi (2019), Sebuku bersama Sapardi Djoko Damono (2019). Cerpennya dimuat di Analisa dan Waspada. Kakak dan Celengan Ayam (Padang Ekspres, 2019) dan Tangis Keramba Opung (Kompas, 2019) merupakan cernak yang dimuat di media.
Alamat e-mail : ghea_niz@yahoo.com
Alamat : Desa Sidapdap Simanosor, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
Nomor kontak : 082167851731

mahfudz

We are.., This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Select Menu