Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Desktop

Chat

Bookmarks

User

Mail

Videos

Contact

Mobile

Archive

Racing

Cute

Travel

Kota

Portfolio

Feature

Kekuatan PMII


Mampukah Membangun Kembali Kekuatan Rayon?


            Rayon Syari’ah merupakan salah satu dari ketiga rayon lainnya, yaitu Rayon Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Rayon Bahurekso (Ushuluddin, Adab dan Dakwah), Rayon Ekonomi dan Bisnis Islam yang dinaungi oleh Komisariat Ki Ageng Ganjur IAIN Pekalongan. Sebagai rayon tertua, Rayon Syari’ah seharusnya mampu menjadi contoh serta bisa menjadi yang lebih unggul dari yang lainnya dikarenakan lebih banyaknya pengalaman yang dimiliki. Seiring berjalannnya waktu seusai Rapat Tahunan Anggota Rayon (RTAR) pada tanggal 12-13 Mei 2018 yang sekaligus menjadi peristiwa bersejarah yaitu pemekaran dari Rayon Syari’ah dan Ekonomi Bisnis Islam menjadi dua rayon yang berdiri sendiri justru membuat rayon tertua ini kehilangan kekuatan, kehilangan anggota dan kehilangan arah gerak sehingga hanya mengalir tanpa konsep dan tidak bertujuan. Padahal, suksesnya suatu lembaga atau organisasi itu terpusat pada siapa dan apa konsep organisasi dalam mencapai tujuannya (Mirrian Sjofjan Arif, Organisasi dan Manajemen, ADPU4217/Modul 1: 1.4).
            Pejalanan Rayon Syari’ah yang dimulai pada tahun periode pertama yaitu periode 2009/2010 yang dipimpin oleh Sahabat Wawan, hingga berlanjut ke periode 2010/2011 oleh Sahabat Yahya. Memasuki periode 2011/2012 yang dipimpin oleh Sahabat Irfandi, Rayon Syari’ah sebagai rayon tertua dipercaya untuk membimbing Fakultas Ushuluddin yang masih baru akan berdiri menjadi rayon dengan cara menggabungkannya menjadi satu rayon. Hal tersebut berlangsung hingga periode 2012/2013 oleh Sahabat Mufid, dan dilanjut pada periode 2013/2014 oleh Sahabat Nova M. Pada tiga periode tersebut masih tetap menggunakan sebutan nama “Rayon Syari’ah” meskipun masih bersama ushuluddin (Irfandi, Wawancara, 12 Desember 2018). Rayon Syari’ah kembali berjalan sendiri pada periode 2014/2015 oleh Sahabat Ariyanto, sampai periode 2015/2016 oleh Sahabat Fariz Firmansah, dan periode 2016/2017 oleh Sahabati Meli. Namun, seperti halnya dahulu Rayon Syari’ah kembali tergabung bersama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam pada periode 2017/2018 oleh Sahabat Musa Musodiq. Pada tahun tersebut dikenal dengan sebutan “Rayon Syari’ah dan Ekonomi Bisnis Islam” meskipun didalam surat keputusan tertulis tetap menggunakan nama Rayon Syari’ah. Hal tersebut hanya berlangsung selama satu tahun (Musa Musodeq, Wawancara, 12 Desember 2018). Memasuki tahun selanjutnya yaitu periode 2018/2019 rayon dipimpin oleh Sahabat M. Farkhan Ibadi. Namun bagaikan seseorang yang berenang tanpa persiapan, tidak ada kestabilan dalam rayon syari’ah. Seperti telah terbiasa satu tahun bersama lalu dilepas sendiri. Kurang disadari dari awal bahwa anggota aktif rayon lebih banyak berasal dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Kondisi rayon yang kekurangan anggota yang aktif pada satu tahun yang lalu sangat kesulitan dalam menjalankan kepengurusan saat ini.
            Rayon Syari’ah yang diharuskan mencari anggota untuk menjadi pengurus mengambil beberapa anggota yang telah melaksanakaan MAPABA meskipun disatu tahun yang lalu sangat minim tingkat keaktifannya dirayon. Hal tersebut tentu menjadi masalah utama dikarenakan minimnya sumbangsih keaktifan mereka di rayon akan menimbulkan ketidak mengenalnya mereka terhadap organisasi. Dari ketidak mengenal maka timbul tidak ada rasa memiliki. Dan jika seperti itu maka bagaimana bisa untuk dapat mengorbankan waktu, fikiran, tenaga, dan biaya untuk mengurus rayon?
            Rayon Syari’ah dan Ekonomi Bisnis Islam yang dahulu telah memiliki Lembaga Semi Otonom berupa bakat minat yang diberi nama Kojahan Pergerakan yang bergerak dibidang pers dan Simpony Pergerakan yang bergerak dibidang musik mengalami berbagai hambatan untuk kembali eksis seperti semula. Kurangnya SDM, waktu, serta prasarana menjadi kendala utama. Selain itu diperlukan waktu cukup lama untuk berfokus pada Lembaga Bakat Minat ketika kondisi internal kepengurusan masih dalam keadaan kacau.
            Pembagian keberfokusan pengurus terhadap ekstra maupun intra belum terdapat pembagian yang jelas. Hal tersebut menjadikan berjalannya rayon kurang progresif, hanya mengalir mengikuti arus kegiatan yang harus diikuti, serta tidak adanya konsep capaian tujuan dalam rayon. Anggota didalam kepengurusan rayon memiliki kesibukan berbeda-beda serta memiliki arah fokusnya sendiri, baik lebih fokus pada organisasi intra kampus, desa, maupun yang lainnya. Namun didalam kepengurusan rayon, seharusnya seorang ketua dan koordinator tidak banyak berfokus pada hal-hal lain, tetapi lebih pada memantau dan mendampingi agar rayon berjalan sesuai konsep dan capaian tujuan yang telah ditetapkan dari awal.
            Kondisi internal kepengurusan yang sangat lemah disebabkan sedikitnya pengurus, ditambah banyaknya konflik yang menjadikan lepasnya beberapa anggota dari kepengurusan seharusnya mampu membuat bahan intropeksi bersikap dalam organisasi. Suatu hal yang terlihat baik tidak akan menjadi baik jika tidak pada tempatnya. Dalam bersikap kita harus memperhatikan objek yang akan disikapi dikarenakan disetiap organisasi terdapat budaya organisasi yang berbeda-beda sehingga harus dapat dimengerti dan difahami oleh setiap anggota (Achmad Shobirin, JSB, Vol.7, No.1, 2002: 1). Harus saling memahami, mampu merendah mengakui dan memperbaiki kesalahan meskipun kita memiliki alasan-alasan kebenaran atas kesalahan yang dilakukan.
            Keinginan untuk berkontribusi masih dapat dipaksakan melalui rangkulan yang harmonis agar menimbulkan kenyamanan sebagai keluarga Rayon Syari’ah. Selain itu, memberikan rasa percaya pada setiap anggota kepengurusan akan partisipasinya yang sangat dibutuhkan serta tidak memandang remeh pengurus meskipun tingkat keaktifannya sangat minim. Namun hal tersebut tidak akan berhasil jika kesalahan yang tidak membuat nyaman pengurus selalu terulang kembali.
            Penataan kembali mengenai diaspora kader menjadi hal yang sangat penting. Pemilihan terhadap anggota yang akan diletakan diekstra maupun intra harus dipertimbangkan dengan memperhatikan keaktifan, kemampuan, dan keinginan anggota. Terutama untuk wilayah ketua, BPH, dan koordinator perbiro haruslah seseorang yang dipercaya dapat lebih fokus berkontribusi didalam rayon. Dengan diawali membangun kuantitas, menguatkan internal kepengurusan, berusaha perlahan menjalankan Lembaga Minat Bakat, maka sedikit demi sedikit kualitas akan mengikuti. Selain itu juga diperlukan Rapat Triwulan, yaitu rapat tiga bulan sekali untuk menguatkan kepengurusan serta memantau perkembangan menuju tujuan rayon. Sangat dibutuhkan adanya dedikasi dan loyalitas melalui bimbingan, pengarahan, dan koordinasi yang baik antara pemimpin dan anggota, serta harus mencapai satu persepsi atau cara pandang dalam mencapai tujuan (Ida Ayu Brahmansari dan Agus Suprayetno, Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol.10, No.2, September 2008: 124).

Pandangan Islam terhadap Tradisi Nyadran, Ciptakan Kerukunan Antar Warga

Islam dan budaya memiliki relasi yang tak terpisahkan, dalam Islam sendiri ada nilai universal dan absolut sepanjang zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal, adat atau tradisi sepanjang budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan spirit nash al-Qur’an dan Sunnah. Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah swt. Dalam surat Al-A’raf ayat 199:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik.
Sama halnya Tradisi dan budaya Jawa tradisi nyadran di Pulau Jawa. Biasanya dilakukan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab. Acara diawali dengan doa bersama (tahlil) yang dipimpin sesepuh dusun setempat. Dalam doa itu mereka bersama-sama memanjatkan doa untuk kakek, nenek, bapak, ibu, serta saudara-saudara mereka yang sudah meninggal. Seusai berdoa, semua warga lantas menggelar genduren (kenduri) atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap-tiap keluarga membawa makanan sendiri.
Uniknya, makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya. Genduren ini bermakna bahwa mayarakat masih menjujung tinggi rasa kerukunan antarwarga. Hal ini merupakan kesempatan warga untuk menjalin kerukunan.
Suasana kerukunan memang tampak pada kegiatan Nyadran. Mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan.  Nyadran atau Sadranan berasal dari kata "Sodrun" yang artinya gila atau tidak waras. Pada masa sebelum datangnya walisongo, masyarakat di Pulau Jawa banyak yang masih menyembah pohon, batu, bahkan binatang, dan itu dianggap tidak waras. Ketika itu mereka menyembah sambil membawa sesaji berupa makanan dan membaca mantra-mantra. Kemudian datang para walisongo yang meluruskan bahwa ajaran mereka salah, yang wajib disembah hanya Allah SWT.
Mantra-mantra yang dibaca lantas diganti dengan doa-doa menurut ajaran Islam. Sedangkan sesaji diganti berupa makanan yang bisa dimakan oleh warga. Inilah salah satu bentuk dakwah walisongo yang masih melestarikan budaya lokal.
Tradisi nyadran tersebut merupakan bentuk Konvensi antara budaya dan agama. Konvensi tersebut yang diterapkan para ulama dalam menyebarkan agama islam di bumi nusantara. Hal ini dikarenakan orang Nusantara yang bersifat lembut dan tidak kasar tentunya para ulama berfikir bahwa penyebaran islam dalam nusantara tidak dengan jalur perang, akan tetapi dengan secara halus, dengan cara  mengganti isi dari ajaran-ajaran mereka dengan isi yang lebih mengantarkan kepada Allah s.w.t
Sedekah bumi (Nyadran) merupakan pengingat bagi masyarakat untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya. Selain itu, agar supaya masyarakat menghormati jasa-jasa leluhur yang berjasa membuka lahan (babat alas) tempat tinggal masyarakat, serta sebagai pengingat untuk senantiasa menjaga lingkungan (alam) sebagai tempat masyarakat mencari penghidupan. Sesungguhnya Allah SWT sangat luas pengetahuan-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT:
“Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka)”. (QS. Al A’raf: 7)
Tradisi Nyadran tersebut bukanlah hanya tradisi biasa tanpa makna, didalamnya terdapat nilai-nilay yang amat penting dalam menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan Indonesia. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
“Katakanlah: "Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang[488], sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam Keadaan bingung, Dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang Lurus (dengan mengatakan): "Marilah ikuti kami". Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam”.
Menurut Isyanti (2007: 131-135) dalam sebuah tradisi ada nilai yang terkandung di dalamnya yaitu nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai musyawarah, nilai pengendalian sosial dan nilai kearifan lokal. penerapan nilai-nilai dalam tradisi nyadran tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Nilai gotong royong. Dalam tradisi nyadran tersebut terlihat dalam penyelanggaraan mulai dari awal persiapan hingga akhir acara dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat.
2. Nilai persatuan dan kesatuan. Yang tercermin pada saat pembagian sedekah makanan dan makan bersama baik pada makam maupun di rumah masyarakat masing-masing.
3. Nilai Kebersamaan dan kekeluargaan . Yang ditunjukkan dalam tradisi nyadran yitu mereka saling tukar makanan, berbagi, bercanda, dan melepas rindu dengan kerabat yang pulang dari perantauan.
4.Nilai pengendalian sosial. Dalam tradisi nyadran, yaitu masyarakat memberikan ucapan sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan dengan nyadran, masyarakat mampu untuk mempertahankan dan menjaga tradisi leluhur.
5. Nilai kearifan lokal. Yang ditunjukkan antara lain makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambar goreng ati, mangut, urap sayuran dengan lauk rempah, perkedel, tempe tahu bacem, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk pelestarian dari kearifal lokal berupa makanan tradisional.
Dari Pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tradisi Nyadran sah-sah saja dilakukan selama proses dan pelakunya tidak keluar dari aturan-aturan syariat Islam. Tradisi tersebut juga membawa banyak nilai positif diantaranya nilai gotong royong, nilai persatuan dan kesatuan, nilai ketuhanan, nilai kebersamaan dan kekeluargaan dan nilai kearifan lokal. Selain itu, lambat laun nilai-nilai Islam akan melekat di masyarakat tanpa adanya paksaan untuk mempelajarinya.
Select Menu