Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Desktop

Chat

Bookmarks

User

Mail

Videos

Contact

Mobile

Archive

Racing

Cute

Travel

Kota

Portfolio

Feature

Bergerak Peduli COVID-19

PC PMII Pekalongan Peduli Corona
PEKALONGAN, KOJAHAN.ONLINE - Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Kota Pekalongan mengadakan bakti  sosial berupa pembagian paket sembako dan masker kepada warga sekitar Kebulen.

‌Sasaran kegiatan bertema ”Berbagi  Di Masa Pandemi Covid-19”  itu adalah masyarakat yang kehilangan nafkah seperti para pekerja yang di-PHK, janda serta masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Pembagian sembako dan masker ini berlokasi di Kebulen Gang 13, RT 3/RW 16, Kota Pekalongan, Selasa (19/5).

”Kami dari PC PMII Pekalongan menggalang donasi dan memberikan sumbangan sembako  kepada masyarakat yang terdampak ekonomi di masa pandemi Covid-19 (virus korona) ini.  Semoga bantuan dari kami bisa bermanfaat,” kata Ketua PC PMII, Wisnu Wardana sembari memberikan bantuan tersebut kepada salah satu warga.

Lanjutnya, organisasi yang berlandaskan Aswaja ini juga akan menyalurkan paket sembako dan masker kain yang akan dilanjutkan pada hari berikutnya di sekitar Podosugih, Kraton dan area sekitar Kota Pekalongan lainnya. "Kami juga bergandengan tagan dengan Komsat dan Rayon yang dibawah naungan kami untuk memberikan paket sembako dan masker kain untuk  masyarakat di berbagai daerah Pekalongan. Ini adalah wujud dari gerakan sosial dan bentuk kepedulian kami terhadap adanya pandemi ini," ujar Wisnu.


Selain itu, dalam pembagian ini PC PMII Pekalongan juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga jarak, cuci tangan, tetap belajar bekerja dan beribadah di rumah. Penyaluran bantuan yang dilakukan juga memperhatikan prinsip menjaga jarak dan menghindari kerumunan sesuai SOP. 

"Kami juga memberikan edukasi kepada warga agar tetap menjaga jarak dan disiplin menggunakan masker dan membiasakan cuci tangan. Itu kami contohkan saat pembagian sumbangan hari ini," ucap Wisnu.

Mengkritisi Islam atau Menghina Islam?

Mengkritisi Islam atau Menghina Islam?


Ajaran Islam telah menjelaskan mengenai cara kita memperoleh pengetahuan yaitu melalui dua cara, dapat melalui akal dan dapat pula melalui wahyu. Akal memang tidak serta merta dapat memahami wahyu karena ketergantungannya pada daya tangkap panca indera. Namun wahyu juga dapat membawa keburukan jika tidak dapat kita pahami dengan baik. Wahyu mampu membuat manusia tau batasan, namun wahyu juga dapat merosotkan akal manusia ketika wahyu menjadi vulgarisasi yaitu dibajak untuk kepentingan-kepentingan sesaat.
Hifdz al-‘Aql (kemerdekaan berpikir atau memelihara akal) menempati point ketiga dalam Dharuriyyat al-Khams (lima pilar penting yang harus dijaga oleh kaum muslimin) setelah Hifdz ad-Din (memelihara agama) dan Hifdz ad-Nafs (memelihara jiwa). Kebesaran agama akan tercermin ketika umatnya mampu memaksimalkan akal budi mereka, dengan kata lain ketika kita berpikir kritis terhadap agama justru akan menampakan keagungan agama tersebut. Manusia dengan akal, intuisi, dan fitrahnya mampu mencapai pemahaman yang berkaitan dengan manfaat dan kesulitan. Manusia untuk mengetahui hal-hal tersebut tidak selalu harus menunggu turunnya wahyu dari langit. Kebebasan berpikir tidak membuat manusia memberontak terhadap agama dan wahyu, namun kebebasan justru dapat melindungi wahyu itu sendiri. Hal tersebut lebih dikenal sebagai istilah upaya pembaharuan hukum Islam atau adapula yang menyebut sebagai Islam Liberal.
Berbagai tokoh banyak yang telah memberikan gagasan liberalnya tentang Islam seperti al-Hallaj, Ahmad bin Hanbal, Syeikh Siti Jenar, Mahmoud Mohammad Thaha, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammad Sahrur, Ahmad Wahib, Nurcholis Majid, dan Gus Dur. Bahkan tulisan tentang keprogresifan Islam banyak tertuang dalam berbagai tulisan yang salah satu diantaranya History of Sunni Ushul Fiqih yang ditulis oleh Wael Hallaq, Methodology in History Themes of The al-Qur’an dan Islam and Modernity yang ditulis oleh Rahman, serta Abu Zayd dan al-Jabiry yang telah menuliskan ribuan halaman buku mengenai metode ta’wil (hermeneutika tradisional) kaum Mu’tazilah dan teosof model Ibn ‘Arabi.
Salah satu tokoh yang akan dibahas disini yaitu Ulil Abshar Abdalla, seorang tokoh yang pernah menjadi koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL). Pemikirannya mengenai Islam yang dituliskan dengan judul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam telah dimuat didalam Harian Kompas, 18/11/02 https://jurnalparlemenonline.wordpress.com/2010/01/15/islam-2/ memicu respon dari berbagai kalangan tokoh agama. Diantara yang Ulil kemukakan adalah :
“Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan melakukan penafsiran Islam yang non - literal, subtansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban Islam yang sedang dan terus berkembang, penafsiran yang dapat memisahkan mana unsur-unsur didalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental, orang beda agama boleh menikah karena Islam tidak terpisah dari golongan lain sama berdasarkan kemanusiaan, struktur sosial manusia harus jelas memisahkan kekuasaan politik dan kekuasaan agama (pribadi).”
Tulisan tersebut berusaha untuk terus mengkritisi Islam, bahkan dikatakan bahwa Rasul terlepas dari seseorang yang sempurna harus dipandang sebagai manusia biasa yang juga memiliki kekurangan dan harus dikritisi. Dengan memandangnya sebagai manusia biasa, justru itu dapat membuat kita menemukan titik keagungan yang Rasul miliki. Bahkan al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasul bersumber dari wahyu menempati suatu wadah yaitu bahasa, sedangkan bahasa dipengaruhi oleh fikiran dan berfikir dibatasi oleh bahasa. Didalam al-Qur’an dijelaskan: “wa-ma yanthiqu ‘an al-hawa, in huwa illa wahyun yuha”, dipahami sebagai bukan keseluruhan kata-kata Rasul. Bisa saja berbicara menurut keinginan Rasul dan atas dasar pertimbangan kemanusiaan Rasul yang terikat erat dengan kondisi zaman hidup beliau. Selain itu, sunnah Nabi tidak terletak pada perincian aktivitas tetapi esensinya.
Tulisan Ulil tersebut sepertinya tidak lepas dari pemikiran Agus Comte (Bapak Sosiologi) yang beranggapan bahwa agama sebagai fenomena sosial semata. Dan mungkin pula Ulil tidak sadar telah berbuat kerusakan seperti yang dijelaskan didalam Q.S al-Baqarah:11-12. Selain itu didalam Q.S al-An’am:159 telah dijelaskan: “Sesungguhnya orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya Allah akan memberitahukan kepada apa yang telah mereka perbuat”.
Atas tindakan berupa buah pikiran Ulil didalam tulisan tersebut Majelis Mujahid Indonesia (MMI) melaporkan Ulil kepada kepolisian atas dasar menghina Islam, selain itu, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) mengatas namakan Ulama se-Jawa mengeluarkan fatwa hukuman mati untuk Ulil Abshar Abdalla. Namun bukankah umat Islam itu plural, tidak bisa disamakan oleh FUUI. Meskipun berlandaskan Q.S al-Maidah:33 dan dua hadits Nabi yang mengisahkan tentang penghina Nabi halal untuk dibunuh. Padahal, Nabi merupakan seorang yang sangat mengutamakan etika dan moral dari pada hukuman. Selain itu, didalam Q.S al-Maidah:33 tersebut dijelaskan berbagai alternatif hukuman, bukan satu-satunya harus menggunakan hukuman mati.
PBNU sendiripun menanggapi berlebihan apabila Ulil dianggap menghina Islam. Apalagi pemberian hukuman mati tersebut melawan prinsip kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran yang dijamin oleh norma-norma yang universal, sikap seperti itu juga mencerminkan absolutisme dan kesewenang-wenangan yang tidak pernah bisa dibenarkan oleh Islam. Gus Dur pernah menjelaskan, apabila kita menutup diri dari kontaminasi (penularan) proses modernisasi maka yang timbul adalah radikalisme yang dapat menghasilkan tindak kekerasan seperti terorisme.
Menggunakan akal manusia dapat memahami batas-batas kehormatan dan konflik, batas-batas kepantasan. Namun tidak berarti batas-batas tersebut sudah ditentukan oleh akal sejak hari pertama karena akal manusia berkembang, diperbarui dan semakin matang. Adanya akal tidak menepiskan peran wahyu memperkaya  wawasan untuk mencapai batasan itu. Pergunakanlah akal untuk mengungkap rahasia terdalam dari wahyu. Berpegang pada khazanah lama juga tetap menjadi hal yang penting agar tidak terdapat keterputusan dengan tradisi. Sementara dari tradisilah manusia masa kini terbentuk. Agar tidak menjadi asing dengan dirinya sendiri.
Islam Liberal maupun Islam Fundamental harusnya dapat saling merangkul agar dapat menjadi satu pemikiran dan satu tindakan. Merubah konflik pemikiran Islam ditanah air menjadi wacana yang sehat dan membangun. Hasil pemikiran tidak selalu dipermasalahkan, namun yang dipermasalahkan adalah bagaimana etika dalam perbedaan pendapat. Ibnu Rusyd mengatakan:
“Ra’yuna shahih yahtamil al-khata’, wa ra’yu ghairina khata’ yahtamil al-shalih”.
“Pendapat kami benar tapi mungkin ada kesalahan, dan pendapat kami salah tapi mungkin juga ada kebenaran”.
Maka tidak perlu ada yang memutlakan paham dan pendapatnya sendiri, karena tidak ada yang perlu dimutlakan kecuali Tuhan. Amin Khulli pernah mengatakan:
“Pada suatu masa sebuah pemikiran adalah kekafiran, pada suatu masa yang lain ia adalah keimanan”.
Namun, jangan sampai niat kita berbuat baik pada agama dan umat, tapi justru terjebak pada problem keimanan kita sendiri.

Sumber :
Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana
Ulil Abshar Abdalla, dkk, (eLSAQPREES, April 2005)

Ditulis Oleh :
Fida Aini Sikhah
Select Menu